Putusan Pengadilan

BUZZER DALAM KACA MATA HUKUM

Tipe Dokumen : Artikel
Sumber :
Bidang Hukum : Umum
Tempat Terbit : Pelaihari, 2020

BUZZER DALAM KACA MATA HUKUM

 

Oleh : Shinta Qadriah

 

          Media massa sedang ramai memberitakan dimana seorang stand up komedian diserang oleh Buzzer. Istilah buzzer sendiri atau disebut juga dengan pendengung buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun media sosial miliknya sendiri guna menyebarluaskan informasi, atau dengan kata lain untuk melakukan promosi sebuah produk atau layanan. Istilah buzzer makin dikenal ketika media sosial mulai masif dimanfaatkan sebagai channel komunikasi pemasaran. Baik untuk komunikasi pemasaran sebuah produk, jasa, sampai komunikasi "pemasaran" di bidang politik, hukum dan lain sebagainya. Buzzer profesional biasanya terorganisir, dimana mereka merancang isu tertentu yang harus didengungkan ke publik lewat saluran media sosial dan sudah memetakan siapa-siapa saja orang yang bisa menjadi perantara pesan itu agar dapat mendengung dan viral.

Buzzer menurut kaca mata hukum tidak bisa dipidana, sepanjang konten yang didengungkan positif tentu tidak melanggar hukum dan tidak menjadi persoalan. Tetapi, bagi buzzer yang menyebarkan konten hoax dan/atau ujaran kebencian, dapat dikenakan sanksi karena melanggar hukum maka. Kriteria hoax ada 3 (tiga), pertama, berita yang dibuat untuk kepentingan tertentu, kemudian disebarluaskan dengan tujuan dan maksud tertentu. Kedua, berita yang mungkin dibuat oleh media tidak profesional dengan kombinasi wartawan yang tidak memiliki kompetensi. Dia tidak paham bagaimana mencari tahu cara verifikasi sehingga berita itu muncul tanpa verifikasi. Ketiga, penyebarannya tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu, tetapi memang media ini tidak proper, beritanya salah, mengambil dari sumber yang tidak kredibel. Celakanya, berita itu diambil oleh orang lain dan kemudian disebarluaskan.

Kemudahan dan kebebasan pemanfaatan media sosial di Indonesia yang berkembang pesat membuat berbagai informasi begitu cepat beredar. Kebebasan tersebut apabila tidak diimbangi dengan literasi digital dapat menyebabkan orang yang awam hukum dengan mudah menyebarkan berita palsu alias hoax menjadi semakin merajalela. Salah satunya, bebasnya buzzer dalam bermedia sosial ternyata semakin hari semakin banyak disalahgunakan. Mereka mengatasnamakan pers, tapi motifnya sebagai buzzer. Tidak hanya melalui situs online, hoax juga beredar di pesan chatting. Jumlah hoax yang semakin meningkat dan tak terbendung membuat pemerintah akhirnya berinisiatif melakukan sejumlah cara bahkan penyebar hoax bisa dijerat hukum. Penyebar berita hoax/kabar bohong/kabar yang tidak lengkap tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Jerat hukum jika menggunakan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 ini tidak tanggung-tanggung, ada yang bisa dikenakan sanksi 2 (dua) tahun, 3 (tiga) tahun bahkan 10 (sepuluh) tahun yang dikualifikasi dalam 3 bentuk pelanggaran, yakni :

1.           Pasal 14 ayat (1) menyebutkan “Menyiarkan berita bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat” dikenakan sanksi pidana penjara 10 (sepuluh) tahun.

2.           Pasal 14 ayat (2) menyebutkan “Menyiarkan berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyengka bahwa berita itu bohong” dikenakan sanksi pidana penjara 3 (tiga) tahun.

3.           Pasal 15 menyebutkan “Menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap, sedangkan ia mengerti dan mampu menduga bahwa kabar itu akan menerbitkan keonaran” dikenakan sanksi pidana penjara 2 (dua) tahun.

 

Ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut lebih mudah dikenakan terhadap penyebar berita hoax daripada menggunakan pasal-pasal yang terkandung dalam UU ITE. Pasal penyebaran berita hoax yang diatur dalam UU ITE sangatlah terbatas pada konteks yang menimbulkan kerugian konsumen dan ada juga yang sifatnya ujaran kebencian yang menimbulkan permusuhan sara. Dalam UU ITE bagi penyebar hoax, dapat diancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE (UU ITE) yang menyatakan setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik yang Dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.

Polemik UU ITE tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun, dimana UU ITE terus memakan korban karena jeratannya bisa menangkap sasaran empuk orang-orang yang kebetulan ingin menginformasikan sesuatu yang menurutnya kurang baik, namun sanksi yang diberikan terkesan tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan dan kurang efektif. Sedangkan jika menggunakan ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946, maka tidak diperlukan klausul lain, karena ia murni kabar tidak lengkap atau kabar bohong. Adapun terkait delik penyebar konten hoax adalah delik penghapusan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2008. Namun pengenaan delik ini dapat memenuhi jika klausul-klausul dan kondisi tertentu seperti konten hoax yang disebarkan tersebut bernuansa permusuhan dan menimbulkan kebencian terhadap kelompok ras atau etnis tertentu.

Dengan adanya beberapa kasus terkait buzzer yang menyebarkan atau menggiring berita palsu/hoax yang sudah banyak beredar di media massa, diharapkan kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dan lebih cerdas dalam memilih berita yang ada di media sosial dan tidak mudah menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya. Kemudian kepada korban yang telah menjadi objek hoax agar dapat lebih percaya diri dalam menyuarakan diri apabila berita tersebut tidak benar adanya sesuai dengan ketentuan Pasal 28D UUD NKRI Tahun 1945. Dan terhadap aparat penegak hukum agar lebih memaksimalkan perlindungan dan penegakan peraturan perundang-undangan serta lebih siap dalam menghadapi kemajuan teknologi informasi yang semakin tinggi. Selain itu aparat penegak hukum juga diharapkan agar lebih bekerja sama kepada seluruh jaringan dan instansi pemerintah yang berwenang dalam pencegahan berita bohong/hoax agar tidak menimbulkan permasalah yang mengakibatkan konflik di masyarakat.

 

File Lampiran : File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini