Putusan Pengadilan

Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku usaha Dalam Kegiatan Jual Beli Secara Online

Tipe Dokumen : Artikel
Sumber :
Bidang Hukum :
Tempat Terbit : Pelaihari, 2021

Oleh: Rizka Noor Hashela, S.H.


Era globalisasi merupakan era dimana segala perkembangan yang ada melaju dengan pesat, salah satu sektor yang memiliki perkembangan yang melaju dengan pesat adalah sektor perdagangan yang dimulai dari perdagangan secara konvensional hingga perdagangan dengan cara transaksi jual beli melalui media elektronik.  

Kegiatan proses pembelian, penjualan, dan pertukaran produk, jasa, dan informasi yang dilakukan melalui media elektronik dengan jaringan internet dikenal juga dengan Electronic Commerce (e-commerce). Pelaksanaan jual beli secara online ini memberikan banyak manfaat untuk mengefesienkan waktu sehingga setiap orang dapat melakukan transaksi jual beli dimanapun dan kapanpun. Terlebih lagi di masa Pandemi Covid-19 saat ini seluruh masyarakat diharuskan untuk berada di rumah sehingga dengan adanya e-commerce ini maka setiap orang tidak perlu bertemu secara langsung untuk membeli apa yang mereka butuhkan.

Dasar hukum e-commerce di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan dua hal penting, yakni: pertama, pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin; dan kedua, diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk tindakan pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan sanksi pidananya.

Indonesia sebagai Negara hukum menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental right bagi seluruh rakyatnya, tak terkecuali pula dalam melakukan suatu transaksi baik secara konvensional maupun online. Dengan adanya pengakuan terhadap transaksi elektronik dan dokumen elektronik, maka setidaknya kegiatan e-commerce mempunyai kekuatan hukumnya.

Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau UUPK guna melindungi konsumen yang sering dirugikan. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha yang lebih kuat dalam banyak hal. Yang mana pada hal
ini konsumen selaku pihak yang memerlukan
barang dan/atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha diharuskan mengikuti aturan yang telah ditetapkan sepihak oleh pelaku usaha.

Namun faktanya dalam bertransaksi secara online, kerugian tidak hanya dapat  dialami oleh konsumen. Saat ini juga sering terjadi kerugian yang dialami oleh pelaku usaha yang disebabkan oleh konsumennya. Adapaun beberapa tindakan konsumen yang menyebabkan kerugian pada pelaku usaha diantaranya adalah melakukan hit and run (calon pembeli yang telah melakukan konfirmasi untuk membeli suatu produk, tetapi tidak melakukan pembayaran saat pesanan telah selesai diproses oleh pelaku usaha), memalsukan bukti pembayaran, melakukan pembatalan pesanan secara sepihak, memblokir akses yang dapat dihubungi oleh pelaku usaha, dan lain sebagainya.

Sebelum melakukan transaksi jual beli online, para pihak harus mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;

3. Adanya objek atau suatu hal tertentu; dan

4. Adanya kausa/sebab yang halal.

Apabila terjadi kasus sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dalam ranah dunia online, dalam hal penyelesaian sengketanya para pihak harus mempunyai bukti yang kuat apabila ingin diselesaikan, baik secara litigasi melalui pengadilan maupun secara non litigasi, yaitu di luar pengadilan. Apabila sengketa tersebut ingin diselesaikan secara non litigasi atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan, pengaduan tersebut harus disertai dengan bukti kejadian, sehingga dapat dilalakukan pemanggilan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Terhadap konsumen yang menyebabkan kerugian dengan adanya unsur pemalsuan data yaitu memberikan alamat serta nomor handphone palsu dan/atau memalsukan bukti transaksi berupa bukti transfer ATM kepada pihak pelaku usaha dapat diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE, yakni: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Namun jika kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut kurang dari Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), maka tindak pidana penipuan tersebut termasuk dalam golongan penipuan ringan, sehingga konsumen yang melakukan tindakan penipuan dapat terjerat hukuman pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau dikenakan denda paling banyak Rp900,00 (sembilan ratus rupiah).

Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 379 KUHP yang menjelaskan tentang tindak pidana penipuan ringan yang berbunyi “Perbuatan yang diterangkan pada Pasal 378 KUHP, jika barang yang diberikan bukan ternak dan harga barang itu atau hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dihukum sebagai penipuan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya 15 kali enam puluh rupiah”.

Selain UU ITE, UUPK juga memiliki hubungan hukum dengan hukum lainnya, salah satunya adalah hubungan perlindungan hukum dengan hukum pidana. Hal tersebut tercermin dalam BAB 13 UUPK mengenai sanksi. Salah satu pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada di dalam UUPK ini tentunya akan dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang dilanggar.

Terlepas dari tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh konsumen tersebut termasuk dalam tindak pidana penipuan ringan atau tidak. Tetap saja suatu tindakan yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain tidak dapat dibenarkan dalam melakukan suatu transaksi jual beli. Setiap orang yang melakukan tindakan yang merugikan terhadap orang lain perlu mendapatkan hukuman agar mendapatkan efek jera agar tidak melakukan tindakan serupa kembali di kemudian hari.

Tindakan konsumen yang memalsukan alamat, nomor handphone, bahkan bukti transfer yang tentunya menyebabkan kerugian bagi pelaku usaha. Ketika unsur penipuan di Pasal 378 KUHP dalam suatu transaksi online terpenuhi maka pihak pelaku usaha sebagai pihak yang dirugikan dapat mengajukan laporan atas tindak pidana penipuan. Langkah yang dapat diambil oleh pelaku usaha untuk mendapatkan haknya kembali dapat diawali dengan cara kekeluargaan.

Namun apabila konsumen tidak menghiraukan atau bahkan tidak dapat dihubungi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan dengan adanya unsur tidak beritikad baik, maka konsumen tersebut dapat digugat secara perdata dan/atau dilaporkan ke pihak kepolisian untuk dapat diproses secara pidana.

Melakukan tuntutan hak memiliki beberapa jenis gugatan, salah satunya adalah gugatan biasa. Gugatan biasa dalam perkara perdata terdiri dari dua pihak yaitu penggugat dan tergugat. Dalam perkara perdata, untuk mengajukan tuntutan hak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu lisan maupun tertulis. Pengajuan tuntutan hak melalui gugatan biasa merupakan suatu pengajuan tuntutan hak oleh subjek hukum yang satu kepada subjek hukum lainnya atas suatu sengketa keperdataan, baik berupa wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum, dimana pada diri pihak yang mengajukan tuntutan hak (gugatan) mengalami kerugian langsung maupun kerugian meteriil sebagai akibatnya.

Selain gugatan biasa, terdapat pula gugatan secara class action atau gugatan perwakilan. Pengaturan mengenai class action di Indonesia terdapat dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Pengertian dari class action adalah suatu prosedur pengajuan gugatan oleh 1 (satu) orang atau lebih yang mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok.

Dalam melakukan transaksi secara online para pihak diharapkan tetap memperhatikan UU ITE yang merupakan undang-undang yang mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik untuk mengurangi terjadinya hambatan dalam transaksi di internet, yaitu penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dan/atau wanprestasi yang dilakukan oleh konsumen yang telah membuat perjanjian transaksi.

Maka dari itu, perlu dilakukan sosialisasi oleh pemerintah terkait cara bertransaksi dengan aman dalam e-commerce sehingga masyarakat dapat memahami dan mengetahui serta melaksanakan transaksi e-commerce sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan juga agar terdapat persamaan persepsi, sehingga tidak terdapat kendala dalam penerapannya

Terhadap pemerintah, harus lebih memperhatikan kepastian hukum mengenai perlindungan hukum yang tidak

File Lampiran : File tidak terseida, silahkan hubungi kami disini